THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES
WELCOME TO THE HILEUD JEUNGKAL ZONE....!!! Skull Pictures, Images and Photos skull Pictures, Images and Photosskull Pictures, Images and Photosskull Pictures, Images and PhotosSkull Pictures, Images and Photos

Rabu, 07 April 2010

MUSIK DI INDONESIA SEKARANG=MUSIK SAMPAH

musik sampah?Loh, masih ada
toh anggapan kaya gitu?
Setahu saya, musik sampah itu hanya ada
di imajinasi saja.
Lalu mengapa tudingan-tudingan dan
semua celotehan tentang musik sampah
itu selalu nongol setiap ada band yang
dianggap tidak se-selera dengan orang kota?
Apakah kemudian lirik, aransemen dan
musikalitas mereka-mereka yang
berteriak-teriak musik sampah itu jadi
lebih keren dan langsung dianggap bagus
karena lebih kota,
lebih modern dan lebih fashionable?

Musik juga sangat memungkinkan pencipta
dan pendengarnya menghadirkan sensasi dan
‘orgasme’ yang berbeda. Ketika pencipta
terhanyut dalam proses penciptaan sebuah
lagu, pendengar mungkin bisa terwakili dari
kejadian-kejadian yang kental dengan lirik lagu itu.
Malah lagu, lirik, pencipta dan pendengarnya,
bisa “menemukan” sosok dan kepribadian yang utuh
dan panjang lebar. Ibaratnya, mendengar lagunya saja,
kita bisa membayangkan sedang apa si penciptanya.

Coba perhatikan lirik-lirik dari penyanyi era 60-an
sampai 2000-an. Ada perubahan dalam ujud ungkapan,
pernyataan, atau cara bertutur. Simpelnya,
ketika bicara soal cinta, ada banyak “jalan” untuk
mengungkapkannya. Dulu –zaman oma opa kita—mungkin
lebih berbelit dan muter-mut
Remaja sekarang, mana mau ‘banyak jalan menuju Roma’
untuk nembak cewek.. Langsung jedeeer...

Kehadiran radja di blantika musik Indonesia
ternyata “mengacak-acak” peta musik Indonesia
yang kemudian menjadi perdebatan, apakah selera musik
orang Indonesia memang lagu-lagu seperti itu? Menurun
atau jalan di tempat sih apresiasi orang terhadap
musik Indonesia? Sampai akhirnya mengerucut pada satu asumsi,
pop yang disukai harus seperti radja.
Ada sentuhan melayunya, cara bernyanyinya
juga pake ‘ngeleyot’ [mendayu].

Kalau kemudian ada anggapan,
band itu selain skill musikalitas yang memadai,
juga kudu punya tampilan fisik yang cukup menjual,
tampaknya kini juga harus dibuang jauh-jauh.
Fenomena kedua yang muncul lewat KANGEN Band,
mematahkan asumsi itu. Dari semua personil
band asal Lampung ini, nyaris tidak ada yang ganteng.
Vokalisnya saja sering dicela-cela sebagai
tidak punya aura star yang memadai.

Ini bersinergi dengan selera musik.
Kaum urban, merasa kalau tidak mendengar musik ajep-ajep,
hip-hop, pop alternative, jazz, tidak kereeeeen.
Kemudian lahirlah “pengkotakkan kuping”.
Ketika satu band muncul dengan album baru,
serta merta langsung dipinggirkan dengan dalih,
‘musik loe cocok buat daerah pinggiran tuh’.
Siapa yang berhak menentukan satu jenis musik
cocok untuk daerah pinggiran, perkotaan atau kaum jet set?

Mengapa mereka bisa diterima oleh masyarakat?
Usut punya usut, labelnya melihat adanya kekosongan
pasar kelas bawah yang butuh lagu yang bisa dinikmat
sesuai kuping mereka. Cirinya, tidak ribet,
sederhana, gampang dihapal
dan bisa genjrang-genjreng sambil nongkrong rame-rame.

Lalu, musik yang bagus itu kayak apa sih?
Sebenarnya rada susah menentukannya.
Karena gue, loe dan mereka Hal ini relatif
bagi setiap orang terutama mereka yang memiliki
selera yang berbeda dengan selera kebanyakan orang.

Kini, musik itu industri.
Industri itu adalah alat untuk mencari uang.
Idealis yang terlalu ekstrim juga kurang diterima.
Misalnya saja, ada yang mau buat album reggae,
kalau memang arah industrinya lagu bukan reggae,
ya susah jualannya. Major label memberi kontrak
ke musisi itu butuh modal yang besar sekali.
Komersialisasi satu produk juga harus dilihat
dari hasil yang bisa didapatkan.
kalau bandnya enggak bisa ngejual ya jangan
selalu disalahkan labelnya.
Tapi kalau kemudian label mengambil
band yang –katakanlah ecek-ecek—dan kemudian laku?
Apakah itu bisa disebut label itu kacangan?

0 comments: